Posisi antena
pemancar yang paling ideal adalah di tempat yang tinggi. Tujuannya
adalah agar supaya radiasi gelombang radia yang dipancarkannya bisa
secara bebas menjangkau wilayah yang seluas-luasnya tanpa terhalang
apapun. Sebab frekuensi kerja siaran TV berada pada band UHF, sehingga
untuk mendapatkan penerimaan sinyal yang baik adalah bila antena
pemancar dana antena penerima bisa saling melihat (Line of Sight).
Untuk memenuhi syarat ideal ini maka diperlukan menara yang cukup
tinggi untuk menempatkan antena di atasnya. Makin tinggi letak antena
pemancar dengan sendirinya akan mudah dilihat oleh antena penerima.
Namun ketinggian
menara antena juga ada batasnya. Bukan saja karena makin tinggi
harga menara itu makain mahal, akan tetapi ketinggian menara seringkali
dibatasi oleh Perda (peraturan daerah). Sebab hal ini menyangkut
keindahan tata kota atau karena masalah keamanan penerbangan setempat.
Untuk mengatasi masalah Perda ini kemudian menara antena dipilih
untuk ditempatkan di suatu tempat yang agak tinggi di pinggir kota.
Sebagai contoh misalnya Semarang. Di Semarang menara-menara TV hampir
semuanya ditempatkan di bukit Gombel, karena posisi tanahnya agak
tinggi sehingga antena penerima siaran TV bisa dengan mudah melihat
ke arah ini. Demikian juga dengan Makasar, dimana menara-menara
TV banyak ditempatkan di Bili-bili yang letaknya di pinggir kota
dan posisi tanahnya cukup tinggi sehingga pacaraan sinyalnya bisa
menjangkau wilayah yang sangat luas.
Di sisi lain,
posisi yang ideal untuk peralatan produksi dan studio adalah di
dalam kota. Sebab jumlah personel yang terlibat di dalamnya jauh
lebih banyak, dan koordinasi dengan pihak luar pasti juga lebih
mudah. Oleh karena itu posisi antara pemancar dan studio ini menjadi
ada jarak. Jaraknyapun seringkali juga tidak dekat. Malah ada yang
mencapai 20 km lebih. Nah agar sinyal dari studio ini bisa dipancarkan
oleh pemancar diperlukan sebuah saluran sebagai penghubung. Saluran
penghubung ini kemudian disebut dengan STL (Studio to Transmitter
Link).
Ada tiga jenis
STL yang bisa dipilih, yaitu: microwave, fiber optic atau satelit.
Perangkat satelit relatif mahal dan harga sewa transpondernya juga
mahal. Fiber optic sangat lama pemasangnnya dan butuh perizinan
yang rumit untuk menggelarnya di sepanjang lintasannya. Jadi dari
tiga pilihan itu yang paling sering dipilih adalah microwave, karena
perangkat microwave harganya relatif lebih murah dan waktu pemasangannya
relatif sangat cepat.
Gambar (1): Tiga
pilihan STL, yaitu: (1) Microwave (2) Fiber Optic dan (3) Satelit
Dalam operasinya
STL harus sangat handal, artinya link tidak boleh putus. Sebab kalau
putus berarti siaran tidak bisa berlangsung. Oleh karena itu STL
harus dibuat redundant. Tujuannya adalah bila satu link putus maka
link satunya lagi akan menggantikannya. Dengan demikian kehandalan
link benar-benar terjamin. Mengenai konfgurasi redundant, cukup
banyak konfigurasi yang bisa dipilih, yaitu:
1. Konfigurasi
2 pasang microwave link, A dan B (A sebagai main dan B sebagai back
up)
2. Konfigurasi 2 fiber optic link, A dan B (A sebagai main dan B sebagai back up)
3. Konfigurasi microwave sebagai main dan fiber optic sebagai back up
4. Konfigurasi microwave sebagai main dan satelit sebagai back up
5. Konfigurasi fiber optic sebagai main dan satelit sebagai back up
2. Konfigurasi 2 fiber optic link, A dan B (A sebagai main dan B sebagai back up)
3. Konfigurasi microwave sebagai main dan fiber optic sebagai back up
4. Konfigurasi microwave sebagai main dan satelit sebagai back up
5. Konfigurasi fiber optic sebagai main dan satelit sebagai back up
Konfigurasi
nomor (1) adalah konfigurasi yang paling banyak digunakan oleh stasiun
TV lokal, sedangkan konfigurasi nomor (4) yang paling banyak digunakan
oleh stasiun TV nasional di Jakarta.
Sumber : www.2wijaya.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar